Apakah e-commerce (e-dagang)?(what is
e-commerce?)
Umumnya
orang berfikir e-commerce adalah online shopping - belanja di Web, membeli
barang melalui Web. Terus terang Web shopping / online shopping sebetulnya
hanya sebagian kecil sekali dari belantara e-commerce. Web shopping yang
termasuk di dalamnya transaksi online stok, men-download software langsung dari
web sebetulnya menghubungkan bisnis ke konsumen ini hanya sekitar 20% dari
total e-commerce, sedang sebagian besar sebetulnya lebih banyak berupa hubungan
dagang bisnis ke bisnis yang memudahkan proses pembelian antar
perusahaan-perusahaan. Banyak orang berharap supaya dimungkinkan terjadinya
transaksi mikro yang memungkinkan orang membayar dalam bentuk recehan, beberapa
ribu / ratus rupiah untuk mengakses content atau game di Internet.
Transaksi
yang sangat hot di e-commerce untuk barang-barang dagangan di Internet maupun
melalui media elektronik lainnya, menurut Simba Information <http://www.simbanet.com/> yang merupakan
best seller adalah produk komputer, produk konsumer, buku dan majalah, musik
dan produk entertainment (audio, video, TV).
Dari berbagai statistik yang ada tampaknya e-commerce
akan semakin marak, terutama di amerika serikat tentunya. International Data
Corporation <http://www.idc.com/>
memprojeksikan bahwa 46 juta orang amerika akan membeli melalui e-commerce
berbagai barang senilai US$ 16 juta di tahun 2001, dan US$54 juta di tahun
2002. Forrester
Research <http://www.forrester.com/>
memprediksikan sales e-commerce sekitar US$7 juta di tahun 2000. Untuk jangka
panjang, Morgan Stanley Dean Witter <http://www.deanwitter.com/>
meng-estimasikan penjualan melalui e-commerce pada tahun 2005 antara US$21 juta
s/d US$115 juta.
Tentunya
bagi Indonesia yang jumlah
pengguna Internet-nya masih sedikit belum sebanyak US, kecuali kalau WARNET-WARNET
makin marak. Strategi e-commerce akan menjadi lain - tampaknya yang menjadi hot
sekarang ini justru situs-situs berita, seperti kompas.com, detik.com. Sebuah
permulaan yang baik untuk membangun community yang bukan mustahil berlanjut ke
focus groups dan e-commerce bisnis ke bisnis.
OLEH
ESTHER DWI MAGFIRAH Alvin Toffler dalam bukunya The Third Wave (1980) telah
memprediksikan bahwa di era milenium ketiga, teknologi akan memegang peranan
yang signifikan dalam kehidupan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern ini akan mengimplikasikan berbagai perubahan dalam kinerja
manusia.
Salah satu produk
inovasi teknologi telekomunikasi adalah internet (interconection networking)
yaitu suatu koneksi antar jaringan komputer. Aplikasi internet saat ini telah
memasuki berbagai segmen aktivitas manusia, baik dalam sektor politik, sosial,
budaya, maupun ekonomi dan bisnis. Dalam bidang perdagangan, internet mulai
banyak dimanfaatkan sebagai media aktivitas bisnis terutama karena
kontribusinya terhadap efisiensi. Aktivitas perdagangan
melalui media internet ini populer disebut dengan electronic commerce
(e-commerce). E-commerce tersebut terbagi atas dua segmen yaitu
1. Business
to business e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha) dan
2. Business
to consumer e-commerce (perdagangan antar pelaku usaha dengan konsumen).
Di
Indonesia, fenomena e-commerce ini sudah dikenal sejak tahun 1996 dengan
munculmya situs http:// www.sanur.com
<http://www.sanur.com/> sebagai toko buku on-line pertama.
Meski belum terlalu populer, pada tahun 1996 tersebut mulai bermunculan berbagai situs yang melakukan
e-commerce. Sepanjang tahun 1997-1998 eksistensi e-commerce di Indonesia sedikit
terabaikan karena krisis ekonomi namun di tahun 1999 hingga saat ini kembali
menjadi fenomena yang menarik perhatian meski tetap terbatas pada minoritas
masyarakat Indonesia yang mengenal teknologi. Salah seorang pakar internet Indonesia, Budi Raharjo, menilai bahwa Indonesia
memiliki potensi dan prospek yang cukup menjanjikan untuk pengembangan
e-commerce.
Berbagai kendala yang dihadapi dalam
pengembangan e-commerce ini seperti keterbatasan infrastruktur, ketiadaan
undang-undang , jaminan keamanan transaksi dan terutama sumber daya manusia
bisa diupayakan sekaligus dengan upaya pengembangan pranata e-commerce itu
(Info Komputer edisi Oktober 1999: 7). Bagaimanapun, kompetensi teknologi dan manfaat yang diperoleh memang
seringkali harus melalui proses yang cukup panjang. Namun mengabaikan
pengembangan kemampuan teknologi akan menimbulkan ekses negatif di masa depan.
Keterbukaan dan sifat proaktif serta antisipatif merupakan alternatif yang
dapat dipilih dalam menghadapi dinamika perkembangan teknologi.
Learning
by doing adalah alternatif terbaik untuk menghadapi fenomena e-commerce karena
mau tak mau Indonesia
sudah menjadi bagian dari pasar e-commerce global. Meski belum sempurna ,
segala sarana dan pra-sarana yang tersedia dapat dimanfaatkan sambil terus
direvisi selaras dengan perkembangan mutakhir. Dalam bidang hukum misalnya,
hingga saat ini Indonesia
belum memiliki perangkat hukum yang mengakomodasi perkembangan e-commerce. Padahal pranata hukum merupakan salah satu ornamen utama
dalam bisnis. Dengan tiadanya regulasi khusus yang mengatur perjanjian virtual,
maka secara otomatis perjanjian-perjanjian di internet tersebut akan diatur
oleh hukum perjanjian non elektronik yang berlaku. Hukum perjanjian Indonesia
menganut asas kebebasan berkontrak berdasarkan pasal 1338 KUHPerd. Asas ini
memberi kebebasan kepada para pihak yang sepakat untuk membentuk suatu
perjanjian untuk menentukan sendiri bentuk serta isi suatu perjanjian. Dengan
demikian para pihak yang membuat perjanjian dapat mengatur sendiri hubungan
hukum diantara mereka.
Sebagaimana dalam perdagangan konvensional, e-commerce
menimbulkan perikatan antara para pihak untuk memberikan suatu prestasi.
Implikasi dari perikatan itu adalah timbulnya hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh para pihak yang terlibat. Didalam hukum perikatan Indonesia
dikenal apa yang disebut ketentuan hukum pelengkap. Ketentuan tersebut tersedia
untuk dipergunakan oleh para pihak yang membuat perjanjian apabila ternyata
perjanjian yang dibuat mengenai sesuatu hal ternyata kurang lengkap atau belum
mengatur sesuatu hal. Ketentuan hukum pelengkap itu terdiri dari ketentuan umum
dan ketentuan khusus untuk jenis perjanjian tertentu.
Jual-beli merupakan salah satu jenis perjanjian yang
diatur dalam KUHPerd, sedangkan e-commerce pada dasarnya merupakan model
transaksi jual-beli modern yang mengimplikasikan inovasi teknologi seperti
internet sebagai media transaksi. Dengan demikian selama tidak diperjanjikan
lain, maka ketentuan umum tentang perikatan dan perjanjian jual-beli yang
diatur dalam Buku III KUHPerd berlaku sebagai dasar hukum aktifitas e-commerce
di Indonesia. Jika dalam pelaksanaan transaksi e-commerce tersebut timbul
sengketa, maka para pihak dapat mencari penyelesaiannya dalam ketentuan
tersebut. Akan tetapi permasalahannya tidaklah sesederhana itu. E-commerce
merupakan model perjanjian jual-beli dengan karakteristik dan aksentuasi yang
berbeda dengan model transaksi jual-beli konvensional, apalagi dengan daya
jangkau yang tidak hanya lokal tapi juga bersifat global. Adaptasi secara langsung
ketentuan jual-beli konvensional akan kurang tepat dan tidak sesuai dengan
konteks e-commerce.
Oleh karena itu perlu analisis apakah ketentuan hukum
yang ada dalam KUHPerd dan KUHD sudah cukup relevan dan akomodatif dengan
hakekat e-commerce atau perlu regulasi khusus yang mengatur tentang e-commerce.
Beberapa Istilah yang
perlu diketahui dalam E-commerce, diantara-nya adalah:
1. Digital atau electronic cash :
juga dikenal sebagai e-cash, istilah ini ditujukan untuk beberapa pola / metoda
yang memungkinkan seseorang untuk membeli barang atau jasa dengan cara
mengirimkan nomor dari satu komputer ke komputer yang lain. Nomor tersebut,
seperti yang terdapat di mata uang, di isukan oleh sebuah bank dan
merepresentasikan sejumlah uang betulan. Salah satu kelebihan yang dibawa oleh
digital cash adalah sifatnya yang anonymous dan dapat di pakai ulang, seperti
uang cash biasa. Hal ini merupakan
perbedaan utama antara e-cash dengan transaksi kartu kredit melalui Internet. Untuk
informasi lebih lanjut dapat dilihat di PC Webopaedia <http://www.sandybay.com/pc-web/digital_cash.htm>.
2. Digital money :
adalah terminologi global untuk berbagai e-cash dan mekanisme pembayaran
elektronik di Internet. Yahoo <http://www.yahoo.com/Business_and_Economy/Companies/Financial_Services/Transaction_Clearing/Digital_Money/>
Companies/Financial_Services/Transaction_Clearing/Digital_Money/ <http://www.yahoo.com/Business_and_Economy/Companies/Financial_Services/Transaction_Clearing/Digital_Money/> mencatat paling tidak ada 21 perusahaan yang memberikan jasa digital money di Internet.
Companies/Financial_Services/Transaction_Clearing/Digital_Money/ <http://www.yahoo.com/Business_and_Economy/Companies/Financial_Services/Transaction_Clearing/Digital_Money/> mencatat paling tidak ada 21 perusahaan yang memberikan jasa digital money di Internet.
3. Disintermediation :
adalah proses untuk memotong jalur perantara. Kira-kira pada saat perusahaan
yang berbasiskan web membypass kanal retail tradisional dan menjual secara
langsung ke pelanggan / pembeli, maka perantara tradisional – seperti toko dan
jasa mail order – akan kehilangan pekerjaan.
4. Electronic checks :
pada saat ini sedang di ujicoba oleh CyberCash <http://www.cybercash.com/>,
sistem check elektronik seperti PayNow akan mengambil uang dari account check
di bank pelanggan untuk membayar PAM atau telepon.
5. Electronic wallet :
Pola pembayaran – seperti CyberCash Internet Wallet <http://www.cybercash.com/>,
akan menyimpan nomor kartu kredit anda di harddisk anda dalam bentuk
terenkripsi yang aman. Anda akan dapat melakukan pembelian-pembelian pada situs
Web yang mendukung electronic wallet tersebut. Jika anda ingin membeli sesuatu
pada toko yang mendukung electronic wallet, maka pada saat menekan tombol Pay
maka proses pembayaran melalui kartu kredit akan dilakukan transaksinya secara
aman oleh server perusahaan electronic wallet. Vendor browser pada saat ini
telah berusaha untuk melakukan negosiasi untuk memasukan teknologi e-wallet
tadi ke produk mereka.
6. Extranet :
adalah sebuah kelanjutan dari intranet perusahaan yang mengkaitkan jaringan
internal satu perusahaan dengan jaringan internal supplier mereka maupun
pelanggan mereka. Dengan cara itu sangat mungkin untuk mengembangkan aplikasi
e-commerce yang memungkinkan menyambungkan semua aspek bisnis, dari proses
pemesanan hingga pembayaran.
7. Micropaymet :
transaksi dalam jumlah kecil antara beberapa ratus rupiah hingga puluhan ribu
rupiah, misalnya untuk mengambil / mengakses grafik, game maupun informasi.
Pay-as-you-go micropayment seharusnya akan membuat revolusi di dunia
e-commerce. Contohnya ESPN SportsZone <http://espn.sportszone.com/>
menggunakan CyberCoin untuk membayar US$1 untuk mengaskses situs mereka selama
satu hari – tanpa perlu membayar penuh langganan bulanan. Kenyataan di lapangan
sebagian besar pelanggan yang potensial tidak terlalu bersedia untuk
bermain-main dengan micropayment.
Beberapa
permasalahan hukum yang muncul dalam bidang hukum dalam aktivitas e-commerce,
antara lain:
1. Otentikasi subyek
hukum yang membuat transaksi melalui internet;
2. Saat perjanjian
berlaku dan memiliki kekuatan mengikat secara hukum ;
3. Obyek transaksi yang diperjualbelikan;
4. Mekanisme peralihan hak;
5. Hubungan hukum dan pertanggungjawaban para pihak yang
terlibat dalam transaksi baik penjual, pembeli, maupun para pendukung seperti
perbankan, internet service provider (ISP), dan lain-lain;
6. Legalitas dokumen
catatan elektronik serta tanda tangan digital sebagai alat bukti .
7. Mekanisme
penyelesaian sengketa;
8. Pilihan hukum dan forum peradilan yang berwenang dalam
penyelesaian sengketa.
Sebagai fenomena yang relatif baru, bertransaksi bisnis
melalui internet memang menawarkan kemudahan . Namun memanfaatkan internet
sebagai fondasi aktivitas bisnis memerlukan tindakan terencana agar berbagai
implikasi yang menyertainya dapat dikenali dan diatasi. E-commerce
terdiri dari dua kategori business to business e-commerce dan business to
consumer e-commerce. § Business to consumer e-commerce berhubungan dengan
customer life cycle dari awareness sebuah produk pada prospek costumer sampai
dengan order dan pembayaran atau juga sampai dengan pelayanan dan dukungan
kepada customer.
Alat
yang digunakan dalam cycle ini adalah business to customer web site. § Business
to business e-commerce melibatkan cycle dari awareness, riset produk,
pembandingan, pemilihan supplier sourching, transaksi fulfillment, post sales
support.
Alat
yang berperan adalah EDI, dan business to business web site (Komputer No. 175
edisi Juli 2000: 4). Implementasi e-commerce secara efektif adalah
mentransformasikan paradigma perdagangan fisik ke perdagangan virtual, yang
memangkas middle man dan lebih menekankan kepada nilai kolaborasi melalui
networking antara supplier, retailler, konsumen, bank, transportasi, asuransi,
dan pihak terkait lainnya (Utoyo, 1999: 5). Segmen business to business
e-commerce memang lebih mendominasi pasar karena nilai transaksinya yang
tinggi, namun level business to consumer e-commerce juga memiliki mangsa pasar
tersendiri yang potensial.
Di samping berbagai standar yang digunakan di
Intenet, e-commerce juga menggunakan standar yang digunakan sendiri, umumnya
digunakan dalam transaksi bisnis-ke-bisnis.
Beberapa
standar yang sering digunakan adalah:
1. Electronic Data Interchange (EDI):
dibuat oleh pemerintah di awal tahun 70-an dan saat ini digunakan oleh lebih
dari 1000 perusahaan Fortune di Amerika Serikat, EDI adalah sebuah standar
struktur dokumen yang dirancang untuk memungkinkan organisasi besar untuk
mengirimkan informasi melalui jaringan private. EDI saat ini juga digunakan
dalam corporate web site.
2. Open Buying on the Internet (OBI):
adalah sebuah standar yang dibuat oleh Internet Purchasing Roundtable yang akan
menjamin bahwa berbagai sistem e-commerce dapat berbicara satu dengan lainnya.
OBI yang dikembangkan oleh konsorsium OBI <http://www.openbuy.org/>
didukung oleh perusahaan-perusahaan yang memimpin di bidang teknologi seperti
Actra, InteliSys, Microsoft, Open Market, dan Oracle.
3. Open Trading Protocol (OTP):
OTP dimaksudkan untuk menstandarisasi berbagai aktifitas yang berkaitan dengan
proses pembayaran, seperti perjanjian pembelian, resi untuk pembelian, dan
pembayaran. OTP sebetulnya merupakan standar kompetitor OBI yang dibangun oleh
beberapa perusahaan, seperti AT&T, CyberCash, Hitachi, IBM, Oracle, Sun
Microsystems, dan British Telecom.
4. Open Profiling Standard (OPS):
sebuah standar yang di dukung oleh Microsoft dan Firefly <http://www.firefly.com/>. OPS memungkinkan
pengguna untuk membuat sebuah profil pribadi dari kesukaan masing-masing
pengguna yang dapat dia share dengan merchant. Ide dibalik OPS adalah untuk
menolong memproteksi privasi pengguna tanpa menutup kemungkinan untuk transaksi
informasi untuk proses marketing dsb.
5. Secure Socket Layer (SSL):
Protokol ini di disain untuk membangun sebuah saluran yang aman ke server. SSL
menggunakan teknik enkripsi public key untuk memproteksi data yang di kirimkan
melalui Internet. SSL dibuat oleh Netscape tapi sekarang telah di publikasikan
di public domain.
6. Secure Electronic Transactions (SET):
SET akan mengenkodekan nomor kartu kredit yang di simpan di server merchant.
Standar ini di buat oleh Visa dan MasterCard, sehingga akan langsung di dukung
oleh masyarakat perbankan. Ujicoba pertama kali dari SET di e-commerce
dilakukan di Asia.
7. Truste <http://www.truste.org/> adalah sebuah
partnership dari berbagai perusahaan yang mencoba membangun kepercayaan public
dalam e-commerce dengan cara memberikan cap Good Housekeeping yang memberikan
approve pada situs yang tidak melanggar kerahasiaan konsumen.
Dalam business to
consumer e-commerce, konsumen memiliki bargaining position yang lebih baik
dibanding dengan perdagangan konvensional karena konsumen memperoleh informasi
yang beragam dan mendetail. Melalui internet konsumen dapat memperoleh aneka
informasi barang dan jasa dari berbagai toko dalam berbagai variasi merek
lengkap dengan spesifikasi harga, cara pembayaran, cara pengiriman, bahkan
beberapa toko juga memberikan fasilitas pelayanan track and trace yang
memungkinkan konsumen untuk melacak tahap pengiriman barang yang dipesannya.
Kondisi tersebut memberi banyak manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan
barang dan jasa yang diinginkan dapat terpenuhi.
Selain itu juga terbuka kesempatan untuk memilih aneka
jenis dan kualitas barang dan jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan
finansial konsumen dalam waktu yang relatif efisien. Namun demikian, e-commerce
juga memiliki kelemahan. Dengan metode transaksi elektronik yang tidak
mempertemukan pelaku usaha dan konsumen secara langsung dan tidak melihat
secara langsung barang yang diinginkan bisa menimbulkan permasalahan yang
merugikan konsumen. Sebagai contoh adalah ketidaksesuaian jenis dan kualitas
barang yang dijanjikan, ketidaktepatan waktu pengiriman barang atau
ketidakamanan transaksi. Faktor
keamanan transaksi seperti keamanan metode pembayaran merupakan salah satu hal
urgen bagi konsumen.
Masalah – masalah yang timbul dalam e-commerce yang
berkaitan dengan keamanan transaksi yaitu
1. Pembajakan
kartu kredit,
2. Stock
exchange fraud,
3. Banking
fraud,
4. Hak
atas kekayaan intelektual,
5. Akses
ilegal ke system informasi (hacking) perusakan web site sampai dengan pencurian
data.
Beragam kasus-kasus yang muncul berkaitan dengan
pelaksanaan transaksi terutama faktor keamanan dalam e-commerce ini tentu
sangat riskan bagi para pihak terutama konsumen. Padahal jaminan keamanan transaksi e-commerce sangat
diperlukan untuk menumbuhkan kepercayaan konsumen. Apabila hal tersebut
terabaikan maka bisa dipastikan akan terjadi pergeseran efektivitas transaksi
e-commerce dari falsafah efisiensi menuju arah ketidakpastian yang akan
menghambat upaya pengembangan pranata e-commerce.
Sehingga muncul beberapa penghalang untuk melakukan
e-commerce diantaranya :
1. Para
pembeli / pembelanja belum menaruh kepercayaan kepada e-commerce, mereka tidak
dapat menemukan apa yang mereka cari di e-commerce, belum ada cara yang mudah
dan sederhana untuk membayar. Di samping itu, surfing di e-commerce belum
lancar betul.
2. Pelanggan
e-commerce masih takut ada pencuri kartu kredit,
3. Rahasia informasi personal mereka menjadi terbuka,
4. Kinerja jaringan yang kurang baik.
5. Umumnya pembeli masih belum yakin bahwa akan
menguntungkan dengan menyambung ke Internet, mencari situs shopping, menunggu
download gambar, mencoba mengerti bagaimana cara memesan sesuatu,
6. Ketakut nomor kartu kredit mereka di ambil oleh hacker.
Tampaknya untuk
meyakinkan pelanggan ini, e-merchant harus melakukan banyak proses pemandaian
pelanggan. Walaupun demikian Gail Grant, kepala lembaga penelitian di
CommerceNet <http://www.commerce.net/>
meramalkan sebagian besar pembeli akan berhasil mengatasi penghalang tersebut
setelah beberapa tahun mendatang.
Grant mengatakan jika
saja pada halaman Web dapat dibuat label yang memberikan informasi tentang
produk dan harganya, akan sangat memudahkan untuk search engine menemukan
sebuah produk secara online. Hal tersebut belum terjadi memang karena sebagian
besar merchant ingin agar orang menemukan hanya produk mereka tapi bukan
kompetitor-nya apalagi jika ternyata harga yang diberikan kompetitor lebih murah.
Untuk sistem
bisnis-ke-bisnis, isu yang ada memang tidak sepelik di atas, akan tetapi tetap
ada isu-isu serius. Seperti para pengusaha belum punya model yang baik
bagaimana cara mensetup situs e-commerce mereka, mereka mengalami kesulitan
untuk melakukan sharing antara informasi yang diperoleh online dengan aplikasi
bisnis lainnya. Masalah yang barangkali menjadi kendala utama adalah ide untuk
sharing informasi bisnis kepada pelanggan dan supplier – hal ini merupakan
strategi utama dalam sistem e-commerce bisnis ke bisnis.
Kunci utama untuk
memecahkan masalah adalah merchant harus menghentikan pemikiran bahwa dengan
cara menopangkan diri pada Java applets maka semua masalah akan solved, padahal
kenyataannya adalah sebetulnya merchant harus me-restrukturisasi operasi mereka
untuk mengambil keuntungan maksimal dari e-commerce. Grant
mengatakan, "E-commerce is just like any automation – it amplifies
problems with their operation they already had."
Di media massa
cukup banyak berita tentang pembobolan sistem keamanan Internet, akan tetapi
umumnya vendor dan analis komputer berargumentasi bahwa transaksi di Internet
jauh lebih aman daripada di dunia biasa.
Keamanan E - commerce
Sebenarnya sebagian besar dari pencurian kartu kredit
terjadi di sebabkan oleh pegawai sales yang menghandle nomor kartu kredit
tersebut. Sistem e-commerce sebetulnya menghilangkan keinginan mencuri tadi
dengan cara meng-enkripsi nomor kartu kredit tersebut di server perusahaan.
Untuk merchants, e-commerce juga merupakan cara yang aman untuk membuka toko
karena meminimalkan kemungkinan di jarah, di bakar atau kebanjiran. Hal yang
paling berat adalah meyakinkan para pembeli bahwa e-commerce adalah aman untuk
mereka.
Umumnya pengguna kartu kredit tidak terlalu
mempercayai-nya, tapi para pakar e-commerce mengatakan bahwa transaksi
e-commerce jauh lebih aman daripada pembelian kartu kredit biasa. Setiap kali
anda membayar menggunakan kartu kredit di toko, di restauran, di glodok, di
mangga dua atau melalui telepon 800 – setiap kali anda membuang resi pembelian
kartu kredit – anda sebetulnya telah membuka informasi kartu kredit tersebut
untuk dicuri.
Sejak versi 2.0 dari Netscape Navigator dan Microsoft
Internet Explorer, transaksi dapat di enkripsi menggunakan Secure Sockets Layer
(SSL) <http://www.builder.com/Business/Ecommerce20/ss05.html>,
sebuah protokol yang akan mengamankan saluran komunikasi ke server, memproteksi
data pada saat dikirimkan melalui Internet. SSL menggunakan public key encryption, salah satu metoda
enkripsi yang cukup kuat saat ini. Untuk melihat apakah sebuah Web site di
amankan menggunakan SSL dapat dilihat pada awal URL digunakan https bukan http.
Pembuat browser dan perusahaan kartu kredit saat ini
mempromosikan sebuah standar tambahan bagi keamanan di namakan Secure Electronic
Transaction (SET) <http://www.builder.com/Business/Ecommerce20/ss05.html>.
SET akan mengenkode nomor kartu kredit yang ada di server vendor di Internet –
yang hanya dapat membaca nomor kartu kredit tersebut hanya bank dan perusahaan
kartu kredit – artinya pegawai vendor / merchant tidak bisa membaca sama sekali
sehingga kemungkinan terjadi pencurian oleh vendor menjadi tidak mungkin.
Terus terangnya memang tidak ada sistem e-commerce yang
bisa menggaransi proteksi 100% kepada kartu kredit anda, tapi kemungkinan untuk
di copet dompet anda di toko online akan jauh lebih rendah dibandingkan di
tempat biasa.
Di Indonesia,
perlindungan hak-hak konsumen dalam e-commerce masih rentan. Undang-undang
Perlindungan Konsumen yang berlaku sejak tahun 2000 memang telah mengatur hak
dan kewajiban bagi produsen dan konsumen, namun kurang tepat untuk diterapkan
dalam e-commerce. Karakteristik yang berbeda dalam sistem perdagangan melalui
internet tidak cukup tercover dalam UUPK tersebut. Untuk itu perlu dibuat peraturan
hukum mengenai cyberlaw termasuk didalamnya tentang e-commerce agar hak-hak
konsumen sebagai pengguna internet khususnya dalam melakukan transaksi
e-commerce dapat terjamin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar